The Person vs. The Habit

Ide tulisan ini sebenarnya muncul tiba-tiba, mengepul dari kuah bakso urat yang saya dan rekan-rekan sekantor pesan ketika jam makan siang.

"Jadi lo beneran putus sama cewek lo?" tanya teman saya sambil menyendokan sambal ke mangkuknya. Yang ditanya hanya mengangguk. Saya mendelik. Ini kok menyoal masalah perasaan orang semacam tabrak lari begini.
"Emang udah berapa lama lo pacaran sama dia?" tanyanya lagi, sekarang sambil mengaduk-aduk isi mangkuknya yang sekarang merah kena sambal dan saus itu. Yang ditanya tergugu sesaat, bola matanya berputar-putar menelusuri terpal yang menaungi kedai bakso sederhana itu, lalu menjawab dengan mantap, "Tujuh tahun."

Saya semakin mendelik. Si penanya pun ikut-ikutan mendelik. Entah latah entah betulan terkejut.

"Emang.. lo nggak sedih gitu?" Si investigator handal ini mulai berhati-hati, mengantisipasi semoga adegan selanjutnya bukan adegan banjir air mata yang bisa menghanyutkan mangkuk-mangkuk bakso kami.

Yang ditanya cuma terkekeh, "Nggak berasa, gue sendiri masih deket soalnya sama dia."

Kami pun lega. Mangkuk kami berarti aman dari banjir air mata penuh drama itu. Koor kami pun berkumandang "Ooo.." dan dengan demikian, pembicaraan itupun ditutup.

Tapi di sini, penafsiran naif saya dimulai.

It's not the person that really matter, it's the habit.

Bagi saya yang paling lama pacaran cuma 14 bulan, bisa bertahan 7 tahun itu sungguh luar biasa. Serta bagi saya sebagai manusia dengan sinkronisasi yang kurang baik antara otak dan hati, putus setelah 7 tahun berpacaran itu juga pasti luar biasa rasa sakitnya. Tapi tidak dengan makhluk di depan saya yang sekarang malah lebih peduli atas lemak-lemak di kuah baksonya dibanding dengan perjuangan 7 tahunnya.

Jadi, mungkinkah yang sesungguhnya kita sayangi itu bukan orang tapi kebiasaan-kebiasaan yang telah menjadi ritual penyambung hidup kita?

Mungkinkah yang kita tangisi bukan kepergiannya, tapi speed dial yang harus diganti namanya, wallpaper yang sekarang harus diubah, frame foto yang harus diganti fotonya, folder foto-foto yang harus di-hidden, display picture BlackBerry Messenger yang harus diganti, relationship status di Facebook yang harus berubah?

Mungkinkah yang kita tangisi bukan kehilangannya, tapi kebiasaan baru yang harus dijalani, untuk bangun sendiri dengan alarm, pulang sendiri tanpa dijemput, menangis sendiri ketika sedih, film bioskop menarik yang harus dilewatkan karena terlalu-malas-atau-malu-untuk-nonton-sendirian atau Angry Bird ketika bosan?

Tapi sebenarnya bukan saya sih yang berhak menjawab. Masing-masing dari kamu yang membaca inilah yang harus menjawab dan menafsirkannya sendiri :)

Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar: