Review: Cinta Dari Wamena

Hai!
Kali ini saya langsung menulis, nggak pakai bersih-bersih sarang laba-laba karena kebetulan lagi sering update isi blog :D

Jadi gini, Sabtu kemarin saya diundang untuk menghadiri pemutaran Cinta Dari Wamena di XXI Plaza Senayan. Undangan yang tertunda karena saya berhalangan hadir pada press-screening sebelumnya. Saya datang pukul 7.02 ke sana sendirian, dan bertemu beberapa rekan blogger di sana. Pastinya ada kakak @sultankata dan @akhmadamal.

Saya sendiri memang selalu menyempatkan untuk menonton film tentang "Indonesia Raya". Yup, Indonesia Raya maksudnya film yang lingkupnya bukan hanya dilematika kehidupan 4K (Kota besar, kuburan, kasur dan kamar mandi maksudnya. Iya, maksa.). Film Indonesia Raya maksudnya the one yang mendefinisikan Indonesia dengan sedemikian megah, luas dan merekam kehidupan yang tidak banyak terekspos. Menunjukan Indonesia sangat kaya dan beragam. Apalagi, film ini dibuat sebagai charity movie, jadi hasil penjualan tiketnya bakal disumbangkan untuk pengobatan teman-teman HIV/AIDS di Papua. I do love the idea, walaupun ternyata film ini dibiayai oleh AusAID dan Ford Foundation. Iya, lembaga asing yang lebih peduli kehidupan saudara setanah air kita di pelosok.


Saya telah banyak menonton film bertema Indonesia Raya, dari mulai Laskar Pelangi, Gie, Denias, Tanah Air Beta sampai Cin(T)a, Tanda Tanya, The Raid dan Java Heat sekalipun. Dan pengalaman saya, film Indonesia itu ditonton bukan dikupas dengan sadis seperti di Rotten Tomatoes karena agak aneh rasanya ketika kita mencoba menghakimi industri yang baru mulai mengejar ketinggalannya. Lagi pula, film Indonesia toh memiliki karakteristiknya sendiri, berbeda dengan film Amerika yang terkenal dengan "American Dream" atau film Inggris yang cukup realistis. Film di Indonesia lebih kepada sisi romantismenya dan terkadang, sejarah dan budaya. Entah benar atau salah, setidaknya itu yang saya tangkap dari film sukses di Indonesia.

Awalnya, saya kira Cinta Dari Wamena ini terbilang dark. Well, pengalaman dari film-film sejenis yang saya tonton sebelumnya, "hidup di pedalaman itu keras, cari duit susah, apalagi buat sekolah" yang kebanyakan demikian. Tapi anggapan saya melenceng, hampir seratus persen! Ya ada lah adegan sedihnya, tapi sedikit kok. Dari awal, film ini sudah menggambarkan bagaimana rakyat Papua yang terpencil itu menghabiskan waktu dengan bernyanyi-nyanyi di sekitar api unggun untuk mengisi waktu ketika malam. Ada optimisme di sana, yang terpancar dari para pemain yang asli Papua itu. Iya, asli Papua dan belum pernah bermain film sebelumnya! Acting-nya pun cukup bagus, apalagi untuk adegan menangis yang dilakukan oleh Tembi. Cukup macho namun menyayat.


Secara garis besar, Cinta Dari Wamena ini menceritakan persahabatan antara 3 orang anak muda dari Jayawijaya, yang diceritakan berdasarkan curhat salah satunya yaitu Litius kepada Daniel (Diperankan oleh mas ganteng Nicholas Saputra). Litius ini ceritanya bersahabat dengan Tembi dan Marta. Ketiganya berhasil lulus SMP dan merantau ke Wamena demi sekolah SMA. Di sanalah mereka mengenal kebiasaan free sex dan minum-minuman keras. Soal minuman keras ini juga unik, karena yang mereka minum merupakan minuman racikan dari alam sendiri, bukan Jack Daniel ataupun Jägermeister yang kita kenal. Mengenai kebiasaan-kebiasaan buruk ini, nampaknya dilakukan karena tidak ada hiburan lain. Lucunya, berbeda dengan kota besar yang melakukannya dengan dalih globalisasi, di sana malah karena ketiadaan media hiburan apapun.

Sepanjang film, kita disuguhkan dengan adegan-adegan yang lugu serta apa adanya. Dari mulai dialog yang lucu karena kepolosan mereka, sampai bagaimana free sex benar-benar dilakukan di mana saja, ada yang di semak-semak sampai bergantian memakai gubuk kecil pinggir jalan sampai bagaimana menyikapi HIV/AIDS sebagai kutukan ataupun santet. See how far can education bring you? :)


Talking about cinematography aspect, saya akui ada cukup banyak detail cerita yang hilang, tapi menurut saya itu nggak usahlah diperdebatkan, mungkin ada beberapa pertanyaan seperti "Lah, kok bisa tahu? Dari mana?" atau "Ya masa sih ada orang yang sebaik itu?" ya, tapi nggak se-absurd sinetron kok. Toh yang dicari dari sebuah film adalah sebuah perspektif baru, kaca mata baru untuk melihat dunia baru. Lagi pula, film ini hadir dengan banyak kejutan-kejutan kecil yang membuatnya sayang untuk ditinggal walaupun sekadar untuk melirik layar ponsel.

After all, film ini cukup pas untuk ditonton anak ABG di perkotaan sebagai edukasi untuk menghindari HIV/AIDS, untuk memberikan perspektif kepada mereka bahwa free sex itu bukan kebudayaan modern melainkan kebudayaan yang "cukup primitif". Apalagi, dengan menontonnya kamu telah menyumbang untuk pengobatan teman-teman kita di Papua. A nice movie to watch :)

Foto diambil dari official fan page Cinta Dari Wamena, dan trailernya bisa di sini yaa

Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

1 komentar:

dinikopi mengatakan...

Aku juga kebetulan nonton Cinta Dari Wamena dari Sultan! Tapi nontonnya di Epicentrum pas pemutaran perdana kalo ga salah. Ah nggak sempet ketemu deh kita ya kak. Ternyata kakak temennya Sultan dan Amal juga. Dunia sempit :P