Bilang Saja Ini Terapi


Saya Sarah, dua puluh enam tahun dan saya sering sekali tertawa. Tertawa saya tergelak-gelak lepas dan biasanya karena hal paling sederhana. Saya bisa tertawa melihat pose aneh kucing saya. Saya tertawa karena mencuri dengar pembicaraan orang di sebelah dalam teleponnya. Saya tertawa karena teater dalam kepala yang suka usil sendiri. Saya sering tertawa setiap hari, hampir sekali setiap satu jam.

Orang bilang saya cantik. Cantik hati karena sering tersenyum. Cantik paras Alhamdulillah karena hoki. Cantik otaknya karena saya bisa berbagai macam hal. Betulan saya bisa berbagai macam.

Tapi karena Tuhan Maha Adil, cantik pun tidak jadi jaminan. Mungkin juga karena saya masih manusia yang kodratnya memang kemaruk dan tidak mudah puas. Saya tetap merasakan juga yang namanya depresi, tidak peduli bahwa semua orang bilang saya tidak berhak untuk depresi.

Dan itu membuat saya semakin depresi. Padahal tidak ada satupun orang di dunia yang ingin depresi. Tapi tidak ada juga orang yang percaya saya depresi karena menurut mereka alasan saya tidak masuk akal. Padahal yang merasakannya saya, bukan mereka. Katanya saya juga manja karena baru merasakan ini kurang dari setahun.

Saya multi talenta ditambah lagi sepaket kelebihan utama saya yaitu Command, Connectedness, Analytical dan Strategic (kata Gallup Strength Finder, bukan kata saya. Pernyataan ini butuh belasan dollar jadi kita percayai saja.) Karir saya cemerlang dan punya tim paling solid yang pernah ada. Atasan yang percaya saya. Keluarga paling suportif yang pernah ada. Saya seharusnya bisa lebih dari ini.

Saya bisa menganalisis segala macam sebab-akibat. Dengan cepat. Memahami segala sesuatu dengan komprehensif dan berbagai macam sudut. Otak saya manipulatif, bisa berpikir dengan bermacam-macam perspektif. Saya seharusnya bisa jadi siapa saja karena saya memang sepintar itu.

Saya sepintar itu karena saya bisa memprediksi suatu hal sebelum hal itu terjadi. Bukan karena mata batin, mata ketiga ataupun mata-mata tapi karena logika saya secepat itu. Saya bisa membaca kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dan saya selalu menyalahkan diri ketika ada sesuatu yang tidak sesuai.

Saya menyalahkan diri saya karena terlihat kurang bersyukur atas anugerah Tuhan. Dengan otak yang saya punya, saya seharusnya bisa lebih dari ini.

Dengan kapabilitas saya, saya seharusnya bisa mencegah hal tersebut terjadi. Saya selalu menyalahkan diri atas segala macam hal yang terjadi. Saya merasa tidak berguna ketika saya tidak bisa apa-apa saat ada ketidaksesuaian muncul padahal saya tahu alasannya. Saya rasa saya selalu bisa melakukan sesuatu. Saya rasa saya selalu bisa mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu.

Force majeur adalah sebuah alibi bodoh untuk menutupi ketidakmampuan kita untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan. Itu menurut saya dan itu alasan paling valid atas perasaan ini. Walaupun saya berharap orang lain bisa berpikir demikian.

Bilang saya tidak bersyukur, bilang saya tidak beriman. Saya memang tidak rajin ibadah tapi saya tahu bahwa bulan lalu ada seseorang yang bunuh diri di Masjidil Haram yang katanya tempat orang beriman itu. Tenang saja, bunuh diri masih jauh di pikiran karena sampai detik ini saya masih memiliki alasan yang jelas untuk bertahan hidup. Yang saya maksud adalah depresi bukan karena iman dan bukan karena kegagalan (mari berdoa untuk Kate Spade, Anthony Bourdain, Chester Bennington dan nama-nama sukses lainnya).

Sebagaimana judulnya, saya ingin tulisan ini menjadi terapi bagi saya. Saya ingin jujur pada diri sendiri dan pada dunia. Setidaknya pada kamu yang membaca ini. Walaupun saya tidak butuh afirmasi dari kamu juga, karena yang depresi saya dan bukan kamu dan saya tidak memaksa kamu untuk membaca tulisan ini.

Sampai paragraf ini kamu mungkin juga masih merasa saya berlebihan. Kamu mungkin membandingkan dibanding orang-orang yang kurang beruntung lainnya. Saya memang lebih beruntung di satu aspek, tapi pernyataan itu tidak bisa menjadi justifikasi mutlak atas apapun yang saya rasa. Pernyataan bahwa segala berkat yang saya punya ini justru menutup hak saya untuk memiliki perasaan adalah sejahat-jahatnya kata.

Saya masih bersyukur bahwa saya tidak memerlukan afirmasi kamu untuk menuliskan ini. Untuk itu saya cuma mau pesan, jangan pernah membandingkan dirimu dengan siapapun. Setidaknya buatlah dunia lebih baik dengan tidak berkata "lo masih mending, semalam saya lembur lebih larut". In a world where you can be anything, be kind.

Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar: