Cerita Tentang Mesin Cuci

#1
Ini minggu terakhir sebelum saya mulai bekerja lagi. Kembali ke dunia nyata lagi setelah satu bulan sabatikal membantu bisnis penatu kiloan milik ibu. Bukan jenis sabatikal yang kamu akan temukan di film romantic comedy pada umumnya, sesi sabatikal ini penuh dengan wangi sabun dan pelanggan yang selalu lupa membawa bon bukti pencucian.

Bukan tanpa alasan sabatikal ini berjalan tanpa kisah berfaedah. Saya hanya penat bertemu angka dan ingin menjalani peran yang lain. Saya lelah menjadi si yang paling cerdas, yang selalu memimpin rapat dan yang selalu mengambil keputusan. Saya ingin menjalani hidup sesederhana mesin cuci otomatis. Jadi saya putuskan untuk mengencani mesin cuci otomatis selama satu bulan.

Bilang saya sinting tapi sungguh, saya terobsesi pada mesin cuci otomatis. Dia mampu mengubah baju kotor yang nyaris terbuang menjadi bersih dan layak pakai kembali. Saya iri pada mesin cuci yang tidak perlu berpikir banyak tapi selalu menyelesaikan berbagai macam masalah. Mesin cuci tidak perlu dipamerkan, dia tersembunyi tapi semua orang akan selalu mencari dia. Rumah tidak lengkap tanpa mesin cuci.

Sebentar, ada pelanggan datang. Rambutnya berantakan dan ini kali pertama saya bertemu dia.
"Halo. Mau titip cuci atau mau ambil?" Saya berusaha sopan, mengabaikan mukanya yang merah dan matanya yang nanar. Sekarang pukul sebelas lebih tiga puluh empat. Bisa ditebak orang ini masih dalam sisa mabuk semalam.

"Mau ambil tapi lupa bon-nya di mana, mbak." katanya. Sudah kuduga. Kasus ke tiga puluh dua dalam satu bulan terakhir.

"Boleh minta nomer teleponnya? Saya coba cocokkan dengan yang ada" lalu dia menyebutkan sederet nomor dan saya mengeceknya dalam komputer. Sebuah inovasi yang kulakukan: membuat sistem dalam tabular Microsoft Excel dengan formula sederhana untuk bisnis ibu yang telah membesarkan saya bertahun-tahun.

Verifikasi berjalan lancar, dia bukan maling cucian dan memang ada cucian atas nama dia. Saya menghela nafas, memanggil asisten rumah dan bersiap untuk reuni terakhir dengan teman lama sebelum kembali bekerja di kantor baru.

***
Kamu pasti sudah bisa menebak plot-nya. Ini hari pertama di kantor baru dan saya bertemu dengan pria mabuk tanpa bon itu di gedung. Klasik. Saya hampir muntah mengetahui betapa klisenya. Tapi posisinya sekarang berbalik, saya yang menjadi klien dia sekarang. Ya secara teknis dia adalah klien saya 'kan? 

Kami berjabat tangan, dia mengangguk sopan dan saya susah payah menahan tawa. Hari ini tentu saja dia rapi dan nampaknya dia tidak sadar bahwa kita pernah bertemu dua puluh delapan jam yang lalu.


#2
Dia terlihat familiar. Gue berusaha mengingat-ngingat siapa perempuan yang menjadi klien ini. Nihil. Gue ingin melempar topik pembicaraan tapi tidak tahu apa. Akal sehat ini berasumsi mungkin kita pernah bertemu di marketing conference atau sesi networking lainnya. Sementara itu, akal yang kurang sehat yakin bahwa kita pernah bertemu di kehidupan sebelumnya.

Rapat itu selesai dengan cepat dan gue tidak berminat untuk kembali ke kantor. Gue lebih penasaran untuk cari tahu lebih lanjut tentang orang ini. Untuk itu, gue berusaha mengulur-ngulur waktu sampai tinggal kita berdua. Jangan keburu berpikir aneh-aneh, gue cuma penasaran. Tidak tahu juga kenapa sebegini penasarannya. 

***
Pembicaraan kita singkat saja ternyata. Waktu itu tidak ada apapun di meja kecuali brosur produk mesin cuci yang akan kami iklankan dan gue terlalu kelu untuk memikirkan ide pembicaraan. Dia sebagai brand manager ingin membuat seolah mesin cuci ini hidup sampai bisa menjalankan akun media sosialnya sendiri sementara gue berpikir keras untuk mewujudkannya. Di sini gue menyesali keputusan karir sebagai seorang account manager.


#1
Seratus tiga puluh dua hari setelah kejadian lupa bon itu, saya terbangun di kamar hotel. Kamar ini berjarak ratusan kilometer dari rumah saya dan saya di sini untuk keperluan shooting iklan mesin cuci. Tidak ada siapa-siapa di samping saya hanya ponsel yang berkedip-kedip. Ada pesan dari si account manager.

"Saya lagi mau cari sarapan sebelum kita mulai kerja nanti. Mau ikut?"

Sebersit perasaan aneh muncul ketika membaca pesan itu. Sebuah perasaan aneh yang tidak bisa saya tolak. Seharusnya rasa ini tidak pernah ada, tapi terlanjur bergulir. Berputar seperti baju dalam mesin cuci.

Ada yang menjalankannya dan saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Saya memilih memandangi setiap putaran-putaran yang ada sambil berharap cemas apa hasilnya. Saya tidak tahu apakah nanti kusut, luntur atau wangi bersih. Saya tidak berani berekspektasi. Biarkan saja mesin cuci ini bekerja. Saya ikut saja.

Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar: