Terdidik Oleh Lima Buah Balon

Di sebelah rumah ada taman kanak-kanak biasa. Dengan paduan suara cempreng yang menyanyikan ayat-ayat Al-Qur'an seperti biasa. Ibu-ibu yang bergunjing dan berjualan wadah bekal seperti biasa. Tidak ada yang spesial dan setiap hari aku lewat di depannya seperti biasa.

Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya. Hijau kuning kelabu merah muda dan biru.

Aku melagu tanpa sadar sambil menatap ke seberang. Ingat ketika dulu kau antar aku sampai sana, terlalu takut untuk sekadar mampir ke rumah. Kau bilang rumahku itu sakral karena dia yang membentuk diriku. Kamu mengagumi setiap atom yang membentuk diriku secara obsesif lalu sungkan pada rumahku sampai bata dan semennya. Aku malah jadi ragu karena tak mau punya pasangan hidup yang merasa tersaingi dengan bahan bangunan.

Meletus balon hijau. Hatiku amat kacau.

Seperti kamu yang menceracau. Waktu itu tanggal empat belas Februari ketika aku mantap berbalik badan dan pergi. Kamu demam dan ibumu memohon aku kembali. Aku minta maaf karena keputusannya sudah sangat pasti. Kamu bilang aku egois, aku bilang kamu naif.

Balonku tinggal empat.

Seperti diri yang tidak tidak ingin kena jerat. Kubiarkan satu elemen hidup terbang dan hilang karena aku yang posesif. Kini aku sadar mengapa kamu sebegitu posesifnya pada hidupku. Siapa juga yang tidak ingin posesif pada hidup semanis punyaku.

Kupegang erat-erat.

Aku melepas kita agar bisa terhindar dari penat. Bukannya jahat, aku cuma tak peduli jika kau bilang aku keparat. Biarpun berat, aku yakin ini akan berlalu cepat. Selayaknya lagu anak TK yang seperti biasa.

Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar: