Making God Laugh

Bulan ini mama saya berulang tahun.

Dan sesuai dengan yang telah saya jadwalkan sebelumnya, hari ulang tahun tersebut bertepatan dengan jadwal skripsi gelombang pertama. It will be the greatest birthday gift ever. 

Hari demi hari saya lalui dengan hanya tidur 3 sampai 4 jam sehari. Membagi 24 jam per hari antara 9 jam di kantor, perjalanan pulang (yang bolak balik saja menghabiskan waktu 4 jam sendiri) dan istirahat sejenak untuk mempertahankan kewarasan. Berbulan-bulan jumpalitan, badan menjadi tambah kurus dan jerawat menggila. Rambut merontok hingga saya putuskan untuk memangkasnya pendek. Gila? Ya kan demi hadiah paling spesial, paling sempurna yang saya bisa untuk setidaknya membalas pengorbanannya selama ini.

Sampailah saya pada beberapa hari yang lalu. Mendadak tubuh saya keringat dingin. Usus saya langsung protes lagi. Badan limbung. Mata berkunang-kunang. Migrain meraja. Seluruh kesatuan atom yang membentuk tubuh ini ramai-ramai berdemo, menuntut hak istirahat. Dengan berat hati, saya meminta izin untuk beristirahat di rumah.

Tepat 2 hari kerja sebelum deadline pendaftaran, saya kembali menghadap dosen pembimbing, sepulang dari rumah sakit. Menyerahkan lagi seluruh hasil kerja keras saya tersebut. Di ruangan Profesor tersebut, jantung ini berdebar tak karuan. Semoga jangan ada revisi banyak-banyak lagi. Saya perhatikan gelagat dosen itu lekat-lekat, memperhatikan ekspresinya. Dia tersenyum. Puas.

"Jadi... ada yang kurang nggak, Prof?" saya bertanya dengan penuh harap.

"Sempurna. Tinggal numbering-nya dirapihin ya." katanya. Saya lega. Well, numbering dan kerapihan macam itu memang selalu menjadi kelemahan saya, "Jadi saya boleh rapihkan ini semua sekarang? Sekarang juga, saya print lalu saya bisa daftar sidang hari ini atau besok?"

Dia malah tertawa, "Harusnya kamu ada jadwal bimbingan 4 kali lagi."

"Lho, tapi semua ini bisa selesai dalam sehari kan, Prof?"

Dia tetap menggeleng, "Kamu datang saja 4 kali lagi dengan jadwal yang berbeda. Yang penting formulirnya diisi, nanti ikut sidang bulan depan saja."

***

Dengan mata berkaca-kaca, saya segera menelpon mama di parkiran. Menumpahkan emosi yang tak tahu harus sedih atau apa. Memohon maaf sebesar-besarnya karena harus menunda sidang. Mama cuma tertawa.

"Sudah, yang penting kamu jadi ada waktu beristirahat. Mama lebih nggak mau lihat kondisi kamu yang awut-awutan kaya sekarang. Nanti jangan lupa makan ya, yang banyak. Besok kita jalan-jalan berdua ya."

Lalu tangis saya tumpah, lebih deras lagi. Bukan tangis kesedihan. Tangis karena hanya itu yang saya bisa, ketika tertawa saja tidak cukup untuk menyikapi keangkuhan saya. Kesombongan saya. Memang siapa saya bisa seenaknya mengatur takdir demikian? Tuhan mungkin sedang terbahak melihat kebodohan saya dengan sejuta rencananya. Kepongahan saya yang mencoba menguasai dunia, yang bahkan dunia saya sendiri.

If you want to make God laugh, tell Him about your plans.

Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

1 komentar:

dinikopi mengatakan...

I KNOW HOW IT FEELS :')