Cerita Angkot pt. 4: Angel in Disguise

Hai.
I know, it was a loooong time ago since my last post but I admit that I'm missing you guys! :p 
Secara saya bukan penulis yang baik, nampaknya saya nggak perlu sering-sering minta maaf karena hiatus, karena bisa-bisa blog ini hanya berisi permohonan maaf ^^

Oke, jadi lanjut ke topik ya.
Ketika itu senja telah tua dan malam mulai meraja. Saya masih di jalan, menyusur lika-liku Mampang, Buncit, Pejaten sampai Ragunan. Kopaja yang saya tumpangi penuh sesak, tetapi apa daya, Kopaja ini bahkan lebih manusiawi dibanding dengan TransJakarta yang kadang hanya lewat lima belas menit sekali. Kendaraan tua itu membelah jalan diiringi lagu dangdut koplo, kadang jalan raya yang dibelah, kadang jalur busway. Saya tidak peduli, yang penting sampai.

Saya tidak dalam kondisi prima waktu itu. Berkali-kali saya harus menahan muntah karena mual. Bukan karena jijik tetapi karena usus saya perih. Lucunya, usus itu salah memilih waktu protes. Saya memejamkan mata, menahan reflux yang sudah di ambang batas serta perih yang mengiris lambung. Satu persatu penumpang turun. Setiap kursi yang kosong segera terisi ketika ditinggalkan. Sialnya, tidak ada penumpang duduk yang turun di dekat saya. Padahal mata saya mulai berkunang-kunang.

Mata saya mulai beredar, mencari kemungkinan bersandar ataupun sedikit ruang untuk duduk. Mata saya tertumbuk pada seorang bapak yang mulai berkemas, nampaknya ia hendak menepi. Di sebelahnya seorang anak berseragam sekolah juga melirik si bapak. Ah, sial. Dia pasti juga mengincar kursi itu. Bayangan saya akan kursi buyar sudah, posisi anak itu lebih dekat dengan si bapak. 

Benar, tak lama kemudian si bapak turun. Saya berpaling. Kursi itu tak mungkin saya duduki. Kalaupun saya memohon padanya, tentu tidak tega. Anak ini badannya begitu tambun, pasti dia lebih merasa lelah dari saya.

Tiba-tiba bahu saya ditepuk, saya kaget. Jujur, saya termasuk orang yang cukup paranoid untuk berinteraksi dengan orang tak dikenal di angkutan umum. Sangat benar bila saya termakan kabar kriminal di media.

Ternyata anak itu. Dia malah mempersilakan saya duduk di tempat yang saya incar itu. Saya menggeleng, "Nggak usah dek, kamu aja."

Dia ikut-ikutan menggeleng, "Aku turun di depan kok."

Selanjutnya pun bisa ditebak,  saya pun menikmati sisa 2 kilometer perjalanan dengan Kopaja itu sambil duduk, mengistirahatkan badan saya yang sedaritadi begitu rewel itu. Meter demi meter terlewati, anak itu tak kunjung turun juga.

Hingga akhirnya Kopaja itu mendekati lampu merah tempat saya biasa turun. Saya pun berkemas dan segera bergegas turun. Anak itu pun ternyata turun di tempat yang sama.

"Hey, kamu." Kutepuk pundak anak itu sesampainya kami di trotoar, "Ternyata turunnya bareng, tau gitu kamu aja yang duduk."

Dia cuma tertawa, "Yang lagi sakit kan kakak."

Lalu dia beranjak pergi, hilang di kerumunan massa yang tak peduli. 

Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

1 komentar:

dinikopi mengatakan...

Ah so sweet of him.
By the way, kita sama kak. Aku juga kalo lagi di angkot atau tempat umu, suka paranoid kalo ditepuk, apalagi kalo diajakin ngobrol stranger, bisa pucet terus maunya turun cepet-cepet aja :(