Cerita Angkot pt.2

*ternyata kegiatan penyambutan mahasiswa baru cukup menyita perhatian saya, maaf ya baru bisa posting lagi sekarang*

Masih tentang angkot, karena namanya juga cerita angkot.
Jadi ceritanya beberapa saat yang lalu, pagi hari berlalu seperti biasa. Jakarta tetap macet dan seperti biasa pula saya hampir kena serempet motor. Namanya juga kota besar. Angkot yang ini warnanya sama-sama biru, sama-sama menimbulkan sensasi asik waktu dinaiki, sama-sama nggak dilengkapi dengan pendingin ruangan.

Yang berbeda adalah, seseorang di balik kemudi itu.
Umurnya mungkin tak lebih dari tujuh belas tahun.
Saya mengamati lagi.
Ya, garis mukanya tak bisa bohong.
Jelas sekali seharusnya dia duduk di bangku sekolah, bukan di belakang kemudi.

Sebenarnya saya pun tak asing dengan isu pekerja di bawah umur seperti si adik ini. Saya cuma asing dengan peristiwa yang mengiringi kebersamaan saya dan dia, yang berlangsung hanya tiga puluh menit. Dimulai dengan seruannya kepada teman-teman sebayanya di pinggir jalan.
Hey! Lihat dong! Gue udah boleh bawa, cuy!
Kerumunan teman-temannya itu terperangah kagum, "Wuihh, cakep bener! Kita boleh naik, dong?" Diapun tersenyum jumawa, hanya membalas dengan lambaian tangannya yang mengajak masuk. Seketika angkot itupun penuh oleh bocah-bocah itu. Saya menutup hidung, kurang merasa nyaman dengan bebauan yang seketika meruap dari tubuh mereka. Riuh rendah celoteh mereka mengisi udara, tidak terlalu penting untuk dijelaskan secara mendetail. Sampai akhirnya satu kalimat nakal berdiam di kepala saya.
Berasa orang tajir yak. Jalan-jalan naik mobil sama lo-lo pada. Kapan lagi coba?
Saya semakin terdiam. Bukan karena bau, ada sesuatu yang lebih dari itu.
Sesuatu yang mengetuk pintu hati saya.
Sebegitu polosnya kah mereka?
Naik mobil yang catnya sudah mengelupas ini bisa disamakan dengan kemewahan?

Mereka masih berceloteh. Kadang-kadang melambai-lambai dengan heboh ketika bertemu kenalannya di pinggir jalan.
"Eh, si mpok! Naik mobil nih!"
Saya jadi tercenung. Segitu senangnya kah mereka? Segitu bahagianya kah mereka menikmati kendaraan yang ala kadarnya ini? Namun bagaimanapun saya berpikir, mereka toh tidak merasa. Mereka masih sibuk berceloteh dengan polosnya, sambil rebutan rokok yang cuma sebatang dan nyaris habis itu. Tingkah polah sederhana yang sanggup meninggalkan senyum di bibir saya.

Hingga tanpa disadari angkot ceria itupun mendekati tempat tujuan saya. Segera saya memberi kode untuk berhenti serta membayar seribu rupiah lebih banyak daripada yang seharusnya. Mata mereka berbinar-binar melihat selembar uang bergambar kapten Pattimura itu, lalu sebuah koor panjang terdengar..
"MAKASIH BANGET, KAKAAAAK!"
Tanpa sadar air mata saya menetes seketika.


Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar: