Mungkin Bertahan

Kebersamaan ini nol belaka dan aku bersumpah, tidak ada alasan yang logis soal motivasi atas semua ini. Tidak ada selain kebetulan. Kita terjebak, terperangkap dalam akumulasi detik dan menit, dalam frekuensi waktu yang sama. Tanpa kita kehendaki. Kita megap-megap kedinginan namun bertahan. Untuk alasan yang tidak akan dapat dimengerti. Irasional.

Lurus di depan, tepat di arah mata kita yang berlarian tak tentu arah, awan-awan bergemuruh pergi dikejar dua bola matamu. Burung-burung camar pun terbang gelisah, sebagian oleng sisanya linglung. Dan lurus tepat di kedua mata kita, di tengah panggung sandiwara itu, sang surya pun jatuh perlahan. Kembali bersemayam lewat garis horizon yang gelap. Mungkin pertanda klimaks atau justru prolog. Atau mungkin sekadar malu karena jengah tersorot mata kita yang terlampau kosong. Mungkin juga muak atas kemunafikkan kita. Aku tak tahu dan tak mau tahu. Urusan aku sudah terlalu banyak tanpa segala peritilan kecil macam itu.

Hingga pada sebuah titik, setelah sepuluh detik yang terasa panjang, rahangmu mengatup, mengeras. Menahan perih. Aku juga tak yakin soal yang ini karena aku tak berani memandangmu terang-terangan meski tak kupungkiri juga, bahwa ekor mataku nakal mencuri-curi pandang.

Satu detik. Dua detik hingga tiga detik. Aku pun menunggu. Menunggu sebaris maaf atau sebenarnya mengharapkan berbait-bait sajak penyesalanmu. Aku ingin mendengarkanmu mendeklamasikan semua, lalu bertepuktangan pada akhirnya, dan selesai. Kita berjabat dan bermaafan.

Tetapi mungkin aku yang memupuk harapan yang terlalu tinggi, hingga harapan itu jatuh kena angin. Roboh dalam hitungan milisekon. Berserakan dan berceceran sebelum mata ini sempat berkedip. Alih-alih sajak berbait-bait, yang terdengar malah tepuk tanganmu yang mengepal kuat hingga urat-uratnya bertonjolan. Tangan yang mengepal lalu saling meninju, hingga terdengarlah bunyi yang sangat jelek. Tak lama kemudian, hela nafasmu terdengar. Berat dan panjang.

Aku mengunyah-ngunyah waktu yang terlalu tua dan kering bagi kerongkonganku. Aku haus. Lamat-lamat mengulum waktu yang dibumbui situasi dan kondisi. Mungkin juga sedikit ego dan kepercayaan? Aku benar-benar tak yakin atas semuanya. Yang kuyakin, semua ini pahit dan hambar.

Pelan-pelan aku mulai berjongkok dan mengais-ngais huruf yang mungkin dapat kususun. Tapi kosong. Tanah tempat kaki ini menapak tidak menyisakan huruf satupun selain debu-debu dari kenalpot mobil-mobil yang berkejaran. Kosong dan otakku lari entah ke mana.
Pendar-pendar orange kemerahan mulai tersapu pekatnya kelam. Kamu masih di sebelahku dengan matamu yang entah di mana juga otakmu yang mungkin tersangkut di bulan. Atau mungkin di rumah, tempat semua hangat dan tentram seperti yang kau damba, atau bahkan terseok-seok di tengah jalan lalu terlindas truk pengangkut hewan ternak. Atau bahkan mungkin ia sedang asyik dengan dia. Dirinya.

Dan sebentar lagi, enam puluh detik dikali enam puluh dikali beberapa angka, kalender akan berganti dan tanggal akan bertambah satu. Mendadak aku ingin cepat tidur dan cepat lupa. Aku lelah digigit perih.

Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar: