25 Ekor yang Mengubah Hidup Saya

Hidup dengan lebih dari 25 ekor kucing ternyata memberikan pengalaman baru yang diluar dugaan. Selain menguras isi dompet dan waktu (but i'm not complaining tho), pelan-pelan gerombolan berkaki empat ini juga mengubah cara pandang saya (dan juga keluarga) terhadap kehidupan.

Hampir dua per tiga dari kawanan ini ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Dari mulai dehidrasi, scabies, tumor, patah kaki, perut nyaris terburai sampai luka bakar. Sisanya? Bayi-bayi kucing kurang gizi yang ibunya tewas diracun atau terlindas kendaraan. Tidak ada yang dibeli maupun dihibah karena semuanya datang sendiri. Saya juga tak habis pikir dari mana mereka dianugrahi insting dari Yang Maha Kuasa untuk datang ke rumah saya.

Dua tahun vakumnya blog ini membawa saya pada dunia baru, the virgin territory yang paling menguji hidup saya. Bertanggungjawab pada nyawa-nyawa titipan yang tidak berdosa ini memberi tantangan ekstra dalam hidup saya, padahal membawa diri yang belum suci saja susahnya minta ampun. Tapi Yang Maha Kuasa memang selalu punya caranya sendiri yang tidak perlu dimengerti, hanya cukup dijalani.

Gaya hidup saya berubah tanpa disadari. Gaji yang saya sisihkan tak lagi untuk menambah koleksi tas terbaru, namun untuk makanan mereka. Tak lagi hafal jadwal konser maupun rilisnya film terbaru, terganti dengan jadwal vaksin dan suntik KB. Mulai membawa makanan hewan ke mana-mana untuk mereka yang terlantar daripada malamnya kepikiran.

Hal ini berpengaruh juga pada pilihan kosmetik. Sebagai seorang karyawati pertengahan dua puluhan, deretan kosmetik di etalase mall selalu menggoda... Until I read the brutal honesty about  animal testing. Isu animal testing yang dulu terasa jauh, kini terasa lebih dekat setiap kali saya mengingat para gerombolan. Mata melas mereka, tatapan paranoid mereka... I really just can't unsee that.

Saya paham betul bahwasannya terlalu naif untuk menghentikan kekerasan pada hewan. Lah wong kucing numpang lewat saja sering disiram air mendidih. Lah wong ayam yang kita makan saja adalah hasil dari peternakan yang tidak manusiawi. Lah wong susu yang kita minum saja memakan korban.

Awalnya terpikir mengapa dunia ini bisa terlalu kejam, tapi ya mungkin itu satu-satunya jalan untuk menafkahi banyak orang. Jadi paling jauh yang saya bisa hanyalah dengan tidak menyia-nyiakan hidangan daging yang sudah tersaji di meja makan. Semoga pengorbanan mereka membawa berkah.

Kembali pada pemilihan kosmetik, bersyukurlah saya karena "dijodohkan" dengan teman kantor yang sependapat, meskipun mayoritas kosmetik di Indonesia yang berkualitas tinggi dikuasai oleh mereka yang melakukan animal testing. Tak dipungkiri, proses belanja kini menjadi lebih menantang namun lebih seru! :P

Banyak yang bilang, tindakan "ekstremis" seperti ini tidak ada gunanya. Raksasa kosmetik "kejam" ini akan semakin kaya, malah mereka membeli perusahaan kosmetik yang bertajuk cruelty free (yes, I'm watching you, The Body Shop and Too Faced!). Padahal sesungguhnya yang saya lakukan sebenarnya hanya untuk menenangkan hati saya.

Berdandan dan kosmetik adalah terapi paling mudah bagi saya. Seyogyanya terapi, perilaku itu haruslah membuat saya tenang dan (syukur-syukur) bahagia setelahnya.  Oleh karena itu, pemilihan kosmetik haruslah yang membuat saya merasa nyaman, karena saya tahu tidak ada hewan yang menderita karenanya. Sangat jauh apabila dikaitkan dengan misi kesejahteraan hewan secara global. Cosmetic haul bulanan saya saja masih kalah dari pada beauty blogger, kok.

Jadi demikianlah isi tulisan panjang lebar yang sesungguhnya hanya berinti pada paragraf sebelum ini. Semoga bisa menjawab tanda tanyamu atas keribetan saya dalam memilih kosmetik.

Tabik.

Keko: Sarah

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar: